Jumat, 07 Maret 2014

MEMAHAMI MUAMALAT DI LUAR JUAL BELI


Klik disini untuk DOWNLOAD


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Muamalah adalah kegiatan yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tatacara hidup sesama manusia untuk memenuhi kehidupan sehari - hari. Manusia adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan muamalah baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaiki-baiknya.Kegiatan muamalah identik dengan akad jual beli.Padahal kegiatan muamalah meliputi banyak hal. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang muamalah diluar jual beli, diantaranya yaitu pinjam-meminjam, utang-piutang, gadai, borg serta upah.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian, syarat dan rukum pinjam meminjam ?
2.      Bagaimana ketentuan gai dan borg ?
3.      Seperti apa katentuan-ketentuan upah dari berbagai pendapat ?
4.      Bagaimana tata cara pelaksanaan pinjam-meminjam, gadai, borg dan upah ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pinjam Meminjam (Ariyah)
1.      Pengertian
Secara etimologi pinjaman (ariyah) diambil dari kata عار yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata “at-ta’awur” yang sama artinya dengan “saling menukar dan mengganti” yakni dalam tradisi pinjam meminjam.[1][1]
Sedangkan pinjaman menurut istilah, ada beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut[2][2] :
1.      Menurut hanafiyah, ariyah ialah:
تمليك المنافع مجان
“Memiliki manfaat secara cuma-cuma.”
2.      Menurut malikiyah, ‘ariyah ialah :
تمليك منفعة مؤقتة لا بعوض
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.”
3.      Menurut syafi’iyah, ‘ariyah ialah :
إباحة الإنتفاع من شخص فيه أهلية التبرع بما يحن الإنتفاع به مع بقاء عينه ليرده على المتبرع
“Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4.      Menurut hanabilah, ‘ariyah ialah :
إباحة نفع العين بغير عوض من المستعير أو غيره
“Kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dan peminjam atau yang lainnya.”
Dari berbagai pendapat tentang pengertian pinjaman diatas, dapat disimpulkan bahwa ‘ariyah(pinjaman) menurut istilah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis).

2.      Rukun Dan Syarat Pinjaman
Seperti terjadi pada beberapa transaksi dalam islam, maka dalam masalah ariyah pun terdapat rukun dan syarat dalam melakukan pinjam meminjam ini. Jumhur ulama mengatakan, bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu sebagai berikut :
a.       Orang yang meminjamkan
b.      Orang yang meminjam
c.       Barang yang dipinjam
d.      Lafadz pinjaman (sighat)[3][3]
Sedangkan syarat bagi mu’ir dn musta’ir adalah :
a.       Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabiy
b.      Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila
c.       Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan curatelle, seperti pemboros.
3.      Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada orang yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya. Rasulullah saw bersabda :

مطل الغني ظلم فإذا أتبع أحد كم على ملي فليتبع (رواه البخاري ومسلم)
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman, dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang mampu / kaya maka terimalah hiwalah itu.” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
            Hadits diatas juga berlaku bagi orang yang (majikan), yakni bila memperkerjakan buruh maka tidak boleh melalaikan upah buruh tersebut, karena termasuk orang yang menzalimi.Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berhutang.Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
            Rasulullah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam.Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya.

B.     Gadai (Ar-Rahn)
1.      Pengertian
Gadai (ar-rahn) secara bahasa artinya bisa ats-tsubuut dan ad-dawaam (tetap), dikatakan “maa’un raahinun(air yang diam, menggenang, tidak mengalir)”, “haalatun raahinatun (keadaan yang tetap) atau ada kalanya berarti al-hasbu dan al-luzuum (Menahan).
Sedangkan menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu, maka seluruh atau sebagian tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu, maka seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[4][4]
Ar-rahn hukumnya adalah jaa’iz (boleh) tidak wajib berdasarkan ulama.Karena ar-rahn adalah jaminan utang, oleh karena itu tidak wajib, seperti halnya al-kafaalah hukumnya juga tidak wajib.

2.      Rukun Dan Elemen-Elemen Gadai
Gadai memiliki empat unsur atau elemen, yaitu :
a.       Ar-raahin, yaitu pihak yang menggadaikan
b.      Al-murtahin, yaitu pihak yang menerima gadai
c.       Al-marhuun atau ar-rahnu, yaitu barang yang digadaikan
d.      Al-marhuun bihi, yaitu ad-dain atau tanggungan utang pihak ar-raahin kepada al-murtahin
Sedangkan rukun gadai menurut M. Abdul Madjid dkk., bahwa rukun rahn (gadai) yaitu :
1.      Lafadz (akad)
2.      Rahin (orang yang menggadaikan)
3.      Murtahin (orang yang menerima gadai)
4.      Barang yang digadaikan
5.      Ada utang
Apabila barang gadaian itu berupa barang yang mudah disimpan, seperti emas, pakaian, kendaraan, dan sebagainya berada di tangan penerima gadai.Jika berupa tanah, rumah, ternak dan sebagainya, biasanya berada di tangan pihak penggadai.Apabila barang gadaian itu berupa barang yang bisa diambil manfaatnya, pihak penerima gadai boleh mengambil manfaatnya sepanjang tidak mengurangi nilai aslinya. Misalnya kuda dapat ditunggangi, lembu atau kerbau dapat digunakan untuk membajak, mobil atau sepeda motor dapat dikendarai, dan juga jasa yang diperoleh diimbangi dengan ongkos pemeliharaan.[5][5]
3.      Syarat-syarat Gadai
Ar-rahn memiliki syarat-syarat terbentuknya akad  (syarat al-in’lqaad),syarat-syarat sah, dan satu syarat al-luzuum (syarat supaya akad berlaku mengikat) yaitu al-qabdhu (barang yang digadaikan telah diserahterimakan dan berada ditangan pihak al-Murtahin).
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa syarat yang disyaratkan di dalam akad ar-rahn ada tiga macam,[6][6]
a.       Syarat yang sah
Yaitu mensyaratkan di dalm akad gadai dengan sesuatu yang sesuai dengan tuntutan atau  konsekuensi akad gadai itu sendiri, seperti mensyaratkan diutamakan dan diprioritaskannya pihak al-murtahin untuk dibayar utangnya ketika pihak ar-raahin tidak hanya memiliki tanggungan utang kepda al-murtahin saja, akan tetapi juga memiliki tanggungan utang kepada kepada orag lain.
b.      Syarat yang tidak sah dan tidak berlaku
Yaitu mensyaratkan dengan sesuatu yang tidak mengandung kemaslahatan dan tujuan, seperti mensyaratkan hewan yang digadaikan tidak makan makanan ini dan itu umpamanya, maka syarat seperti ini tidak sah dan tidak berlaku namun akad gadai yang ada tetap sah.
c.       Syarat tang tidak sah sekaligus menjadikan akad gadai yang ada ikut menjadi tidak sah
Seperti mensyaratkan dengan suatu syarat yang merugikan pihak al-murtahin, seperti mensyaratkan pihak al-murtahin tidak boleh menjual barang yang digadaikan setelah utang yang ada telah jatuh tempo sedangkan pihak ar-raahin belum juga membayar utang yang ada kecuali setelah satu bulan misalnya. Syarat seperti ini tidak sah karena apa yang disyaratkan tersebut mengandung unsure jahaalah (tidak diketahui, tidak jelas) dan karena kemanfaatan dan tambahan-tambahan yang dihasilkan oleh al-marhuun belum ada ketika disyaratkan.

C.    Borg
1.      Pengertian Borg
Yang dimaksud dengan borg  adalah suatu barang yang dijadikan sebagai jaminan atau penguat kepercayaan atas hutang.
Jika orang yang berhutang telah melunasi semua hutang hutangnya, maka borg boleh diambil. Akan tetapi, jika pada waktu pembayaran yang telah ditentukan tibadan hutang hutangnya belum melunasi, maka borg boleh dijadikan sebagai alat pembayaran, atau borg dijual secara adil (menurut harga yang belakupada saat itu) untuk pembayaran hutang, dan jika harga jualnya melebihi hutang maka harus dikembalikan kepada orang yang berhutang.
Dalam hal ini, imam malik membolehkan penundaan pembayaran sehari atau dua hari, dan harus penetapan berdasarkan dua ketentuan yaitu penentuan takar dan waktu pembayaran tertentu.[7][7]

2.      Pemanfaatan Barang Jaminan (borg)
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil mamfaatnya, baik oleh pemilik barang maupun oleh penggadai, kecuali apabila mendapat izin dari masing masing pihak yang bersangkutan.sebab hak pemilik barang tidak memiliki secara sempurna yang memungkinkan ia melakukan perbuatan hokum, misalnya mewakapkan, menjual, dan sebagainyasewaktu waktu atas barang miliknya itu;sedangkan hak penggadai terhadap barang gadai hanya pada keadaan atau sifat kebendaanya yang mempunyai nilai, tetapi tidak pada guna dan pemamfaatan/pemungutan hasilnya. Penggadai hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memampaatkan hasilnya,sebagai mana pemilik barang gadai, tidak berhak menggunakan barangnya itu.
Penerima gadai harus menjaga barang gadaian yang dipercayakan kepadanya, dan diperbolehkan untuk mengambil mamfaatnya sekedar sebagai ganti pemeliharaannya.
Sedangkan bagi pemilik barang tetap diperbolehkan untuk mengambil mamfaat barang yang digadaikan walaupun tanpa seizin penerima gadai dan apabila terjadi kerusakan dalam pemamfaatan itu masih terjadi tanggungannya. Akan tetapi, ia tidak diperbolehkan untuk menjual atau menyewakan barang yang sudah digadaikan dalam masa-masa pegadaian, dan apabila sudah diluar masa-masa itu, artinya ia sudah melunasi semua hutang-hutangnya, maka ia diperbolehkan berbuat apapun terhadap barang tersebut.
Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’I dan Ad-Daruqutni, disebuitkan bahwa Nabi Muhammad SAW besabda “jaminan tidak menutup manfaat terhadap orang yang mempunyai barang itu,faedahnya ia yang mempunyai dan ia wajib membayar dendanya.”
D.    Upah (ijarah)
1.      Pengertian Upah
Ijarah berasal dari kata al-ajru, yang arti menurut bahasanya ialah Al-iwadh, arti dalam bahasa indonesianya ialah ganti dan upah. Menurut MA. Tihami, al-ijarah adalah akad (perjanjian) yang berkenaan dengan kemanfaatan (mengambil manfaat sesuatu) tertentu, sehingga sesuatu itu legal untuk diambil manfaatnya, dengan memberikan pembayaran tertentu.
Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Menurut hanafiyah, ijarah adalah :
عقد يفيد تمليك منفعة معلومة مقصودة من العين المستأ جيرة بعوض
“akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.”[8][8]
2.      Menurut malikiyah, ijarah ialah :
تسمية التعاقد على منفعه الاد مي وبعض المنقولات
“nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”.[9][9]
3.      Menurut asy-syafi’iyah, ijarah ialah :
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والاباحة بعواض معلوم
“akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”[10][10]
2.      Rukun dan syarat ijarah
a.       Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah orang yang menerima upah dan yang menyewakan, mustajir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharuf (pengendalian harta), dan saling meridhai.
b.      Shighat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir ,
c.       Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.
d.      Syarat-syarat barang dalam upah[11][11] :
1.      Hendaknya upah tersebut harta yang bernilai dan diketahuai kegunaannya
2.      Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan ma’quud alaih (objek akad)
3.      Dasar Hukum Ijarah
      Dasar hokum atau rujukan ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Al-Ijma’. Dasar hokum ijarah dalam Al-Qur’an adalah :
فإن أرضعن لكم فئا تو هن أجورهن
“Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.”
Dasar hukum ijarah dari hadits adalah :
احتجم واعطط الحجام أجره (رواه البخارى ومسلم)
“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

E.     Tata Cara Pelaksanaan Akad Dalam Muamalah
1.      Tata Cara Pelaksanaan Pinjam-Meminjam
Terdapat beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terikat di dalamnya, sebagai berikut.
a.       Sejalan dalam petunjuk dalam surah Al-Baqarah : 282, bahwa utang-piutang harus dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang, disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki, dan dua orang saksi wanita. Dewasa ini, tulisan tersebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai. Hal ini supaya tidak terjadi saling mengelak dikemudian hari.
b.      Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak, disertai dengan niat dalam hati akan membayar mengembalikannya dikala telah mempunyai utang.
c.       Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikannya, maka yang berpiutang hendaknya memberikan tenggang waktu yang lama atau kalau perlu dapat membebaskannya.
d.      Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya dipercepat pembayaran utangnya, karena bila lalai dalam membayar pinjaman berarti berbuat zalim.[12][12]
2.      Tata Cara Pelaksanaan Gadai dan Borg
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang, hanya saja dalam gadai ada borg. Borg adalah barang jaminan yang diberikan kepada murtahin, dan akan dikembalikan kepada rahin ketika rahin sudah membayar hutangnya kepada murtahin.Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “apabila rahin tidak mampu melunasi hutangnya kepada murtahin hingga waktu yang telah ditentukan, maka barang jaminan menjadi milik murtahin sebagai pengganti pembayaran hutang”. Sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga jaminan akan lebih kecil daripada hutang rahin yang harus dibayar yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga jaminan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada hutang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
3.      Tata Cara Pemberian Upah
Jika upah (ijarah) itu suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya adalah pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran serta tidak ada ketentuan penangguhannya, maka menurut Abu Hanifah, wajib diserahkan upahnya secara berangsur-angsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut imam syafi’I dan ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri, jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir, ia berhak menerima bayarannya., karena penyewa (musta’jir) sudah menerima kagunaan.[13][13]

  


BAB III
PENUTUP
Muamalat diluar jual beli antara lain :
1.      Pinjam- meminjam dan utang-piutang
2.      Gadai
3.      Borg
4.      Upah
Ariyah (pinjaman) menurut istilah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis).
Rahn ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu, maka seluruh atau sebagian tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu, maka seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Yang dimaksud dengan borg  adalah suatu barang yang dijadikan sebagai jaminan atau penguat kepercayaan atas hutang.





[1][1] Rahmat Syafi’i, “Fiqih Muamalat”, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), Hal.130
[2][2]Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, “Fiqih Muamalah”, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2011), hal. 139-140
[3][3] M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam”, (Jakarta : Rajawali Press, 2004), hal. 239
[4][4] Ahmad Azhar Basir, “Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang Gadai”, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1983), Hal. 50
[5][5]Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Op.cit, Hal. 159-160
[6][6]Wahbah Az-Zuhaili,الفقه الإ سلا مي وأو لته, jilid 6, (Jakarta : Gema Insani, 2011), hal. 199-120
[7][7]Abubakar Muhammad, “Terjemah Subulussalam Jilid 3”, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1995), Hal. 170
[8][8] Hendi Suhendi, “Fiqih Muamalat : Membahas Ekonomi Islam, Kedudukan Harta, Hak Milik, Jual Beli, Bunga Bank Dan Riba, Musyaraklah, Ijarah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis, Dan Lain-Lain”, (Jakarta : Raja Grafindo, 2005), Hal.114
[9][9] Ibid.
[10][10]Rachmad syafi’I, op.cit, hal. 122
[11][11] Wahbah Az-Zuhaili,الفقه الإ سلا مي وأو لته, jilid 5, (Jakarta : Gema Insani, 2011), Hal. 400-404
[12][12] Hendi Suhendi, Op.cit, hal. 97-98
[13][13] Sohari sahrani, op. cit, hal.172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar