Jumat, 07 Maret 2014

SHADAQAH HIBAH DAN HADIAH


Klik disini untuk DOWNLOAD


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar belakang masalah
Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta melalui nabi Muhammad SAW. Semasa hidup, beliau selalu berbuat baik dengan amalan sholeh seperti zakat, pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. Zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan karena bagian dari rukun Islam, demikian pula shodaqoh karena islam menganjurkan untuk bershodaqoh dengan tujuan menolong saudara muslim yang sedang kesusahan dan untuk mendapat ridho Allah SWT.
Shodaqoh bisa berupa uang, makanan, pakaian dan benda-benda lain yang bermanfaat. Dalam pengertian luas, shodaqoh bisa berbentuk sumbangan pemikiran, pengorbanan tenaga dan jasa lainnya bahkan senyuman sekalipun.
Beberapa hal diatas adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama islam seperti pemberian hadiah, hibah dan shodaqoh. Maka pada makalah yang singkat ini penulis akan sedikit menguraikan hal tersebut seberapa penting dalam dunia pendidikan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian sedekah
Sedekah secara bahasa berasal dari huruf shad, dal, dan qaf, serta dari unsur ash-shidq yang berarti benar atau jujur. Sedekah menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah SWT.
Secara etimologi, sedekah ialah kata benda yang dipakai untuk suatu hal yang diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian sedekah adalah pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut.
Hukum sedekah
Hukum sedekah itu disunnahkan dan dianjurkan untuk dikeluarkan kapan saja. Hal ini disebabkan karena anjuran dari al-Qur’an dan as-Sunnah untuk mengeluarkan sedekah tidaklah terikat.[1] Sesuai dengan sabda Rasul di bawah ini,
انّ الصّدقة لتطفئ غضب الرّبّ وتد فع ميتة السّوء
“Sesungguhnya sedekah memadamkan amarah Tuhan dan menolak kematian yang buruk.” (HR. At-Tirmidzi, dan Ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan)
Manfaat sedekah
Al-Faqih berpesan agar kita senantiasa bershadaqah baik sedikit maupun banyak jumlahnya, karena di dalam shadaqah tersebut terdapat sepuluh kebaikan, lima di dunia dan lima di akhirat. Adapun lima kebaikan di dunia adalah:
a.       Membersihkan harta
b.      Membersihkan badan dari dosa
c.       Menolak musibah dan penyakit
d.      Menggembirakan orang miski, dan pekerjaan yang paling utama adalah menggembirakan orang-orang yang beriman
e.       Membawa berkah dalam harta dan kelapangan rezeki
Sedangkan lima kebaikan di akhirat adalah:
a.       Shadaqah menjadikan pelindung baginya dari panas
b.      Akan memperingan hisab
c.       Akan memberatkan timbangan
d.      Memperlancar dalam melewati shirath (titian), dan
e.       Akan menambah derajat di surga.[2]


B.     Pengertian hibah
Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu:
عقد يفيد التمليك بلا عوض حا ل الالحياة تطوعا
“akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.”[3]
Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebut i’aarah (pinjaman).[4]
Hukum hibah
Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan Ayat ayat Al-Quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu bentuk tolong menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya.
Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi :
لا يحلّ لرجل أن يعطى عطيّة أوييهب هبة فيرجع فيها الاّ الوالد فيما يعطى لولده. رواه ابو داوود وغيره
“Tidak halal bagi seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah atau menarik kembali kecuali orang tuua yang memberi kepada anaknya.” (HR. Abu Daud)[5]
Rukun Hibah
Menurut jumhur ulama’ rukun hibah ada empat:
1.      Wahib (Pemberi)
Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.
2.      Mauhub lah (Penerima)
Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah.
3.      Mauhub
Mauhub adalah barang yang di hibahkan.
4.      Shighat (Ijab dan Qabul)
Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul.
5.      Syarat-syarat hibah
Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahk an.
Syarat-syarat penghibah
Disyaratkan bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan
2.      Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
3.      Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4.      Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing.
Syarat-syarat bagi yang dihibahkan
Disyaratkan bagi yang dihibahkan:
1.      Benar-benar ada
2.      Harta yang bernilai
3.      Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.
4.      Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.
5.      Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan (dikhususkan) seperti halnya jaminan.[6]
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasam dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam membangun lembaga-lembaga sosial.[7]
C.    Pengertian Hadiah
Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena rasa cinta. Hadiah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang. Hadiah merupakan bukti cinta dan kejernihan hati. Di dalam hadiah terdapat nilai penghargaan dan penghormatan. Oleh karena itu, Nabi menerima hadiah baik dari orang muslim atau orang kafir. Nabi juga menerima hadiah dari wanita, sebagaimana beliau menerimanya dari laki-laki. Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan kepada umatnya agar saling memberi hadiah.
Berapa banyak kedengkian yang sirna karena hadiah. Berapa banyak konflik menjadi cair karena hadiah. Dan berapa banyak persahabatan dapat diraih karena hadiah. Sebagaimana hadits di bawah ini:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل الهدية و يثبت عليها. رواه البخاري و مسلم
Rasulullah menerima hadiah dan membalasnya. (HR. Bhukari dan Muslim)[8]
Anjuran memberi hadiah
Nabi menganjurkan memberi hadiah walaupun jumlahnya hanya sedikit. Nabi SAW bersabda:
يا نساءالمسلما لا تحقرن جا رة لجارتها ولوفرسن شاة
“wahai para wanita muslimah, janganlah seorang tetangga memandang rendah pemberian tetangga, walaupun hanya kaki kambing. (HR. Bukhari)[9]
Maksudnya adalah Nabi menganjurkan seseorang wanita agar memberikan hadiah kepada tetangganya dan bermurah hati dengan sesuatu yang mudah. Walaupun hadiah yang diberikan hanya sedikit, itu lebih baik daripada tidak memberi. Hadiah merupakan adanya cinta.
Anjuran menerima hadiah
Dari Abdulillah ibn Mas’ud: Nabi SAW bersabda,
اجيبوا الداعي ولا تردواالهدية ولاتضربواالمسلمين
“Datangilah orang yang mengundang kalian, jangan menolak hadiah dan jangan memukul orang – orang muslim.” (HR. Bhukori, al Adab al Mufrad)[10]
Dalam hadits di atas dianjurkan bagi yang diberi hadiah untuk menerima hadiah, walaupun sedikit jumlah pemberian tersebut. Karena penerimaan hadiah tersebut merupakan bukti penghargaan orang yang diberi hadiah kepada orang yang memberi hadiah.

BAB III
PENUTUP
Pada dasarnya, arti ketiga istilah di atas ditambah athiyah termasuk hibah menurut bahasa. Dengan kata lain, pengertian secara bahasa antara hibah, sedekah, dan hadiah adalah sama. Hanya saja jika ditinjau dari maksud dan tujuan dari ketiganya, jelas terdapat perbedaan sebagai berikut:
1.      Jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan imbalan dari pemberian tersebut dinamakan sedekah.
2.      Apabila pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena rasa cinta dan terdapat suatu bentuk penghormatan (penghargaan) atas suatu pekerjaan seseorang, dinamakan hadiah.
3.      Jika pemberian diberikan seseorang kepada orang lain yang tidak terdapat unsur sebagai sedekah ataupun hadiah, dinamakan hibah.





[1] Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press,2005), hlm. 285
[2] Mushlich Shabir, Terjemah Tanbihul Ghafilin, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), hlm. 507-508
[3] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 242
[4] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), Cet. XX, hlm. 174
[5] H. Abdul Fatah Idris, dkk, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), Cet. III, hlm. 197.
[6] Sayyid Sabiq, 0p. Cit., hlm. 178-180
[7] H. Satria Effendi M. Zein, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I, hlm. 471-472
[8] Op.cit., Abdul Fatah Idris, hal. 199.
[9] Op.cit., Rachmat Syafi’I, hal. 244.
[10] Op.cit., Saleh al-Fauzan., hal. 288.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar